Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hustle Culture: Ekspektasi Manis Dari Budaya Kerja Keras Bagai Kuda

 “I’ve got a dream worth more than my sleep”

Aku memiliki mimpi yang jauh lebih berharga dari tidurku — anonim

Tahun ini aku mendapat promosi lagi. Promosi ketiga yang telah melipat gandakan gajiku hingga lima kali lipat gaji pertamaku. Peranku cukup penting, dan kantorku menghargainya dengan baik.

Aku sangat ambisius. Semua ingin aku capai di masa mudaku. Uang dan karir saja tak cukup.

Image: Unsplash/Awmleer

Aku ingin terkenal. Aku yakin dengan dikenal orang, aku akan semakin meningkatkan value diriku. Aku membuat channel youtube untuk berbagi ilmu. Channelku berkembang sangat baik.

Aku mulai dikenal dan sering mendapat undangan untuk menjadi pembicara di berbagai universitas. Bagaimana aku membagi waktu?

Aku selalu bangun pukul setengah lima pagi. Lalu beribadah dan berolahraga setiap pagi. Di kantor aku tak pernah telat. Aku selalu memberikan 1000% tenaga dan pikiran. Tak keberatan untuk lembur. Aku sering kurang tidur.

Hari sabtu dan minggu adalah jadwalku membaca buku-buku, menulis, membuat konten, mengisi seminar atau mengikuti kursus untuk menambah skill.

Ya. Jadwalku sangat padat. Banyak orang kagum padaku. Aku dipandang sukses, bahagia, cerdas. Dan aku menyukai pandangan itu.

Tapi… Sesungguhnya aku merasa kosong. Aku tak punya teman. Aku tak pernah pacaran. Jika kamu mengenalku secara langsung. Aku rasa kamu juga tidak ingin berteman denganku.

Hustle Culture, prinsip kerja keras mengejar kesuksesan yang aku ikuti, kini membuatku mulai goyah. Usiaku sudah semakin bertambah, dan aku tak tahu sampai kapan aku harus bekerja keras. Aku tak punya teman dan mulai khawatir jika tak akan menikah.

Aku mulai stres dengan banyak tekanan dan membuat orang-orang disekitarku takut pada moodku yang naik turun. Mereka menyukai kerjaku tapi tidak menyukai diriku.


“When all the details fit in perfectly, something is probably wrong with the story.”

“Ketika semua hal detail telah sempurna, mungkin ada yang salah dengan ceritanya.”

 

ARTI HUSTLE CULTURE

Hustle bila diartikan dalam bahasa Indonesia, artinya adalah mendorong lebih cepat. Hustle culture dalam konteks ini adalah budaya kerja yang mendorong seseorang untuk bergerak cepat dan agresif.

Hustle culture merupakan suatu konsep yang menganggap bahwa kesuksesan hanya dapat dicapai jika pekerjaan dilakukan dengan dedikasi tinggi, bekerja sekeras-kerasnya tanpa lelah hingga menempatkan pekerjaan di atas segalanya.

Beberapa orang menganggap ini sebagai hal yang baik, karena tampak seperti sebuah motivasi untuk mencapai kesuksesan dengan kerja keras. Sementara sebagian lainnya menganggap hustle culture secara perlahan akan mengganggu kesehatan dan mental seseorang.


SEJARAH

Hustle culture diperkirakan mulai ada sejak tahun 1970-an. Hal ini didorong oleh perkembangan teknologi serta adanya dorongan sosial untuk menjadi seseorang yang sukses di usia muda. Munculnya hustle culture juga erat kaitannya dengan lahirnya istilah workaholic yang menggambarkan para pekerja yang rela bekerja dengan jam kerja lebih banyak.

Memasuki tahun 1990-an, saat internet dan sistem digital mulai berkembang, hustle culture juga ikut berkembang pesat. Pekerja dituntut bisa bekerja lebih cepat seolah tanpa ada batasan waktu. Karena teknologi internet memungkinkan pengiriman email tanpa terbatas waktu.

Kemajuan internet kemudian melahirkan para perusahaan rintisan seperti Apple, Tesla Inc, serta Facebook. Segala kemudahan ini pada akhirnya membebani para pekerja untuk bekerja lebih dan lebih.

Ditambah lagi segala slogan dari para motivator yang diselipkan dalam berbagai kesempatan untuk meyakinkan para pekerja, bahwa bekerja keras itu baik untuk kesuksesan mereka.


TANDA SESEORANG MELAKUKAN HUSTLE CULTURE

Seseorang seringkali tidak menyadari bahwa dia telah melakukan konsep hustle culture. Hal ini dikarenakan dia sudah terbiasa melakukannya dan telah menjadi gaya hidupnya. Orang yang tak melakukannya justru dianggap lemah dan kurang serius bekerja.

Beberapa tandanya adalah:


1. Selalu Memikirkan Pekerjaan

Mereka yang menjalani hustle culture sangat workaholic. Pecinta kerja dan selalu ada yang ingin dilakukan dalam pekerjaannya. Seolah tak pernah puas dan tak ada hari esok lagi. Ketika dia pulang kerja, pikirannya pun tak beranjak dari pekerjaan yang harus diselesaikan selanjutnya.


2. Tak pernah santai dan melupakan istirahat

Bagi sebagian besar orang, waktu istirahat adalah waktu yang sangat ditunggu. Menjadi waktu untuk sekadar bersosialisasi, makan siang, dan merefresh sejenak dari kesibukan kerja. Namun bagi penganut hustle culture, dia rela menerabas jam istirahat jika pekerjaannya belum benar-benar puas dia kerjakan. Dia akan memesan makanan secara online dan makan di meja kerja. Hingga bisa menghemat banyak waktu dan tidak hilang fokus dari pekerjaan.

3. Perfeksionis

Tidak boleh ada cela. Semua harus dapat dikerjakan dengan hasil yang baik dan tepat waktu. Sifat perfeksionis ini membuatnya tak pernah puas dan selalu ingin memberikan lebih baik demi reputasi.


4. Selalu ingin lebih unggul dari orang lain

Penganut Hustle culture selalu ingin menjadi lebih baik dari yang terbaik. Dia akan mengejar dan sangat tertantang untuk bisa mengalahkan yang terbaik. Hal ini membuatnya terus berkompetisi dan tak pernah menghargai pencapaian diri.


5. Target terlalu tinggi

Tidak ada yang tak mungkin dilakukan. Jika suatu hal dikerjakan dengan serius, penuh dedikasi dan semangat tinggi, maka tidak ada yang mustahil. Begitu prinsipnya. Hingga target yang ditetapkan menjadi terlalu tinggi dan berat untuk dicapai. Apalagi jika tim yang bersamanya tidak memiliki semangat kerja yang sama. Dia rela bekerja lebih untuk bisa mengejar target meskipun harus mengerjakan hal yang bukan tugasnya.


6. Stres hingga burnout

Banyak tekanan yang dia lakukan pada diri sendiri. Ingin menjadi sempurna, menjadi yang terbaik, tidak pernah puas dan target yang berat. Semua itu membuatnya stres. Ditambah lagi dengan kurangnya jam istirahat. Hal ini memicu kondisi seseorang menjadi burnout, yaitu stres kronis yang membuat seseorang lelah secara fisik, mental dan emosional.


“The bad news is time flies. The good news is you’re the pilot.”

“Kabar buruknya adalah waktu berlalu. Kabar baiknya adalah kamu adalah pilotnya.” — Michael Altshuler

 

HUSTLE CULTURE DI INDONESIA

Berapa jumlah total jam kerja kalian setiap minggu? Apakah kalian sering lembur? Apakah lembur itu sepadan dengan pendapatan kalian, karir kalian, waktu kalian, kesehatan kalian dan bahkan kehidupan pribadi kalian?

Pemerintah Indonesia telah menetapkan jam kerja karyawan, yaitu bahwa periode kerja adalah 7 jam per hari atau 40 jam dalam sepekan untuk 6 hari kerja, dengan 1 hari istirahat dalam 1 pekan.

Namun kenyataannya di Kota besar seperti Jakarta, pulang jam 9 malam pun jalanan masih macet. Kantor-kantor masih banyak yang menunjukkan aktivitas. Ini menandakan bahwa banyak orang merasa tidak ada yang salah dengan lembur. Sebagian orang justru bangga jika bekerja hingga lembur.

Di sisi lain, menurut hasil penelitian Komunitas Kala Krisis Keluarga Besar Mahasiswa FK Unair, 1 dari 3 pekerja di Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental akibat jam kerja berlebih.


WORK LIFE BALANCE

Bekerja keras untuk mengejar kesuksesan karir tentu hal yang baik. Namun jangan lupa, bahwa ada kesehatan yang perlu kita jaga, ada rezeki harta yang perlu kita nikmati, ada waktu yang tidak akan pernah kembali, keluarga yang harus kita perhatikan dan mental yang harus tetap kita jaga untuk tetap waras.

Work-life balance merupakan suatu kondisi dimana seseorang mampu mengendalikan diri, mengatur dan membagi antara tanggung jawab pekerjaan, kehidupan keluarga dan kehidupan pribadinya secara seimbang.

Work-life balance sangat penting bagi kesehatan, kebahagiaan dan hidup yang lebih berkualitas.

Dengan memahami pentingnya work-life balance, seseorang dapat bekerja lebih produktif dan berkualitas Keseimbangan ini justru meningkatkan semangat dan rasa puasnya dalam pekerjaan.

Kita juga bisa menjadi lebih kreatif karena memiliki waktu untuk berinteraksi sosial, mencari inspirasi dan melakukan hal ringan yang menjadi hobi kita.


OUTRO

Tubuh manusia ada batasnya. Layaknya mesin mobil, tak mungkin bisa dipaksa terus berjalan dengan kecepatan tinggi. Bila terus dipaksa, maka sebagaian komponennya akan aus dan rusak.

Bagaimana dengan tubuh kita? Apakah masih sepadan jika kesehatan kita menjadi taruhannya?

Hustle culture bisa menjadi hal baik bila dilakukan dalam proporsi yang tepat dan pas. Bekerja keraslah dengan membatasi waktu kerja dan tetap memperhatikan kehidupan pribadi.


You can’t have everything you want, but you can have the things that really matter to you.

Kamu tidak dapat memiliki semua yang kamu inginkan, tetapi kamu dapat memiliki hal-hal yang benar-benar penting bagimu. — Marissa Mayer


Sumber: Medium/1 Hari Sukses 

Posting Komentar untuk "Hustle Culture: Ekspektasi Manis Dari Budaya Kerja Keras Bagai Kuda"